Berkaitan dengan aksi bjorka sebagai hacker yang merangkap jadi aktivis, membuat publik khususnya netizen meragukan sistem keamanan data-data pribadi yang disimpan oleh lembaga pemerintah sebagai pihak yang seharusnya berwenang dalam menjaga data-data tersebut, sebab berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, keamanan perlindungan data pribadi dan privasi juga masih masuk ke dalam ranahnya HAM. Kegiatan hacktivist ini tentunya bisa dianggap sebagai ancaman reputasi terhadap lembaga Pemerintahan.
Bjorka ingar dibicarakan baru-baru ini di Twitter akibat kemunculan dirinya yang mengaku telah melakukan tindakan hacking atau peretasan terhadap arsip dokumen pribadi milik pejabat, lembaga publik, dan pemerintah. Bjorka meneror pemerintah dan beraksi dengan melakukan beberapa pembobolan data, diantaranya sebanyak 105 juta data pemilu masyarakat Indonesia (KPU), 1,3 miliar data registrasi SIM Card (Kominfo), hingga surat dan dokumen milik Presiden RI Jokowi. Motif Bjorka dalam aksinya menyerang pemerintahan dianggap sebagai hacktivism yang sebenarnya ingin menyuarakan perubahan sosial dengan kegiatan peretasan data siber milik pemerintah yang tentunya ilegal.
Krisis, menurut Institute for Public Relations (2007) merupakan ncaman signifikan terhadap operasi yang dapat memiliki konsekuensi negatif jika tidak ditangani dengan benar. Dengan kata lain, krisis dapat terjadi ketika masalah yang tidak terduga (atau tidak terduga) mengganggu stabilitas perusahaan.
Hacktivism Ancaman Reputasi Pemerintah
Kenapa fenomena hacktivism ini bisa dikatakan sebagai sebuah krisis yang dapat mengancam reputasi pemerintah? Karena berkaitan dengan definisi dari Krisis itu sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas, merupakan suatu ancaman yang terjadi dengan waktu yang tiba-tiba (tak terduga) pada sebuah lembaga/perusahaan/organisasi, krisis memiliki konsekuensi besar apabila tidak ditangani dengan benar. Berkaitan dengan kasus hacktivism yang sempat melanda lembaga pemerintahan di Indonesia, hal ini bisa mengancam reputasi lembaga Indonesia itu sendiri, karena fenomena hacker ini dinilai ilegal dengan merampas data-data pribadi penting penduduk Indonesia, kemudian dijual untuk alasan ekonomi si hacker itu sendiri. Bentuk krisis organisasi yang terjadi pada fenomena ini merupakan Reputational crisis, seperti yang dijelaskan Coombs, dalam (InstituteforPR, 2016) Reputational crisis adalah situasi di mana reputasi organisasi terancam atau menderita kerusakan reputasi yang signifikan. Jelas, krisis operasional dapat merusak reputasi organisasi.
Krisis reputasi juga di sisi lain, menimbulkan sedikit risiko bagi keselamatan atau operasi pemangku kepentingan, hal ini bisa terjadi ketika sebuah aktivis dalam bentuk perorangan atau kelompok secara terbuka menegaskan bahwa organisasi tersebut bertindak tidak bertanggung jawab. Publik sebagai victim akan mengira bahwa sistem pengamanan yang telah dioperasikan oleh Pemerintah ini tidak aman, karena masih dengan mudahnya diretas. Apalagi saat ini beredar jika Bjorka, merupakan seorang lulusan SMA saja namun bisa membobol data-data penting milik pemerintah dan juga pejabat, sangat ironis. Pada kasus ini, Bjorka juga sempat memanfaatkan Twitter dan Telegram sebagai media sosial penyebaran bukti dirinya berhasil membobol data-data pemerintahan. Itulah mengapa jika adanya krisis reputasi ini dikaitkan dengan kemunculan media sosial, yang prosesnya cepat menyebar dan menjadi sebuah isu yang mengancam reputasi pemerintah, seperti Bjorka yang sempat menjadi trending topic di Twitter. Hubungan antara media sosial dan krisis reputasi, orang menggunakan istilah “krisis media sosial” yang tidak tepat untuk merujuk pada informasi negatif apa pun tentang organisasi yang muncul secara online. Pada kenyataannya, beberapa informasi negatif menyebabkan krisis reputasi yang sebenarnya merusak organisasi, sementara yang lain menyebabkan para crisis atau menyebabkan risiko krisis yang dapat dikurangi jika dikelola dengan benar.